Kamis, 29 Januari 2009

Soal Golput, MUI Dinilai Berpolitik

SUMENEP - Direktur eksekutif Ali Humaidi MSi menilai MUI berpolitik dalam kasus fatwa haram golput. Alasannya, sejauh ini MUI berkonsentrasi pada masalah agama. Belakangan, MUI mulai menjamah ranah politik.Seperti diberitakan, MUI mengeluarkan fatwa haram terhadap golput. Alasannya, golput termasuk golongan yang tidak taat kepada imam. Padahal, memilih (dalam pemilu/pilkada) merupakan bagian dari proses penentuan pemimpin bangsa. Ali Humaidi kemarin menyayangkan MUI yang dianggapnya terlalu luas garapannya. Lulusan pasca sarjana UI Jakarta itu menilai MUI mulai tidak istiqamah. Buktinya, MUI yang pada awal pendiriannya bergelut dengan masalah keagamaan, kini mulai berpolitik. Dia menbambahkan, golput bagian dari sikap pemilih. Dalam bahasa ekstra parlementaria, katanya, tidak memilih (golput) justru sebagai pilihan pemilih. Pria yang akrab disapa Malhum ini menilai golput sebagai hak asasi setiap warga negara. Dalam konteks pemilu/pilkada, pemilih bebas memilih. "Termasuk bebas pula jika tidak ingin memilih," katanya.Pria asal Batu Putih itu menganggap agama dan politik memiliki zona tersendiri. Mestinya, MUI menampilkan daya kritisnya terhadap pemimpin bangsa dalam kasus golput yang kian dominan. Dia memandang golput sebagai sikap politik warga yang mulai apatis terhadap pemimpinnya. "Biarkan saja rakyat memilih atau tidak memilih," tuturnya.Menanggapi hal tersebut, ketua MUI KH Syafraji menilai golput sebagai sikap tidak peduli terhadap nasib bangsa. Fatwa haram diberikan karena golput mengabaikan imam. Dalam ajaran agama, memilih imam wajib (nashbul imamah wajibun). Selain itu, Syafraji menganggap golput tidak ikut-ikut dalam penentuan bangsa. Karena begitu, golput pantas dinilai tidak memiliki kepekaan beragama dan berbangsa. Bahkan, dalam radius tertentu golput tidak berdampak pada kemaslahatan umat. "Apa pun alasannya, golput tetap haram," ujarnya. (abe/rd)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar