Sabtu, 31 Oktober 2009

Dinkes Temukan 2 JCH Berisiko

SUMENEP - Dua jamaah calon haji (JCH) terancam gagal berangkat ke Tanah Suci Makkah. Itu karena dari hasil pemeriksaan kesehatan kedua atau vaksinasi meningitis yang dilakukan oleh dinkes terdapat dua JCH dinilai berisiko.Hal itu diungkapkan Ahmad Setiadi, Kabid Pengendalian Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan (Dinkes) Sumenep. Menurut dia, dua JCH yang dinilai berisiko tersebut menderita penyakit kompilasi.Namun begitu, menurut Setiadi, dinkes tidak berani memvonis untuk menggagalkan dua JCH bisa berangkat ke Makkah. Alasannya, kondisi kesehatan dua JCH itu masih dikonsultasikan ke Dinkes Provinsi Jatim dan pihak kesehatan pelabuhan atau embarkasi."Keputusan untuk menggagalkan keberangkatan JCH merupakan hal yang sensitif. Untuk itu, kami tidak berani menggagalkan dua jamaah haji yang kondisi kesehatannya dinilai berisiko itu," tegas Ahmad.Untuk diketahui, dari data dinkes, dari 819 JCH asal Sumenep, 16 orang yang masih melakukan vaksinasi. Kebanyakan JCH yang belum melakukan vaksinasi karena berhalangan dan sakit.Rencananya, JCH yang belum melakukan vaksinasi akan diperiksa maksimal H - 10 keberangkatan. "Pada 18 November mereka akan berangkat. Berarti paling akhir 8 November mereka harus melakukan vaksinasi ke dinkes," pungkasnya. (c22/zid/jp.com/sfl)

Antisipasi Impor , Stok Garam

SUMENEP - Sejumlah petani garam rakyat mulai menimbun garamnya. Itu karena ada informasi dari Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Kalianget bahwa hujan akan turun pada pertengahan Desember.Hasil pantauan cuaca yang dilakukan BMG beberapa waktu lalu, tahun ini diperkirakan kawasan tengah dan timur Sumenep hujan turun pada Desember. Karena itu, petani menimbun garamnya untuk persiapan stok garam pada musim hujan. Itu dilakukan untuk mengantisipasi impor garam.Hasan, petani garam asal Desa Pinggir Papas, Kec. Saronggi, mengatakan, penimbunan garam biasa dilakukan pada setiap menjelang akhir musim. Sehingga, ketika gudang membutuhkan garam pada saat musim hujan, petani masih punya stok garam untuk dijual. Dengan begitu, pihak gudang tidak punya alasan untuk mengimpor garam. Dijelaskan, berdasarkan aturan, gudang tidak boleh mengimpor garam pada saat dua bulan setelah musim panen dan satu bulan sebelum panen.Menurut Hasan, impor garam bisa merugikan petani. Sebab, dengan mengimpor garam dikhawatirkan gudang kelebihan stok. "Jika (gudang) kelebihan stok, garam lokal tidak akan dibeli. Harga garam akan murah pada tahun berikutnya," terangnya.Selain itu, garam ditimbun agar harganya bagus. Sebab, kata Hasan, pada musim hujan harga garam biasanya naik dibanding saat panen pada musim kemarau."Jika berkaca pada tahun sebelumnya, harga garam pada musim hujan naik sampai 50 persen. Saat musim kemarau harga garam yaitu Rp 200 ribu per ton, tapi pada musim hujan naik menjadi Rp 300 ribu per ton," ungkapnya.(c22/mat/jp.com/sfl)

Senin, 19 Oktober 2009

Keluhkan Pesta Kerapan Sapi, Tuding Hadiah dan Aturan Balapan Tak Sesuai

SUMENEP - Pelaksanaan lomba karapan sapi tingkat kabupaten di Stadion Giling Sumenep kemarin (18/10) dikeluhkan pemilik sapi dan anggota DPRD Sumenep. Mereka melihat adanya kejanggalan mengenai biaya dan aturan pertandingan.

Zaini, salah satu pemilik sapi dari Kec Bluto, mengeluhkan pelayanan panitia kerapan. Baik hadiah maupun lomba, tidak sesuai dengan anggaran yang dimiliki oleh panitia, dalam hal ini disbudparpora.

"Setahu saya, jumlah anggaran mencapai Rp 95 juta lebih. Tapi hadiahnya hanya motor (buatan) Cina dan alat elektronik saja. Padahal, untuk golongan menang sudah jelas Rp 20 juta dan (pemenang) golongan kalah dianggarkan Rp 15 juta. Kok hadiahnya hanya itu," keluhnya saat ditemui di sela - sela pertandingan.

Selain hadiah yang dianggap terlalu kecil, Zaeni mencurigai aturan perlombaan yang hanya menguntungkan beberapa pihak. Dalihnya, aturan pada tahun itu berbeda dengan aturan - aturan sebelumnya.

"Selain ada pemangkasan kawedanan dan konsumsi yang minim, jarak lomba juga diubah. Dari dulu, itu biasanya 195 meter. Tapi karena ada panitia yang jadi peserta dan sapinya tidak sanggup, jaraknya diubah jadi 190 meter," tuturnya.

Zaeni juga mengaku sudah menanyakan hal tersebut kepada panitia. Namun, menurut dia, panitia berdalih hal itu dilakukan demi keamanan. "Itu tidak mungkin Mas. Sebab, selama tujuh tahun terakhir jarak yang digunakan selalu 195 meter dan tidak apa - apa," paparnya.

Sementara itu, anggota DPRD Sumenep, Decki Purwanto, membenarkan jika anggaran yang dialokasikan untuk lomba karapan sapi mencapai Rp 95 juta. Rinciannya, Rp 35 juta untuk hadiah (baik golongan menang maupun golongan kalah) dan Rp 1,5 juta untuk pembelian tropi. Sementara sisanya yang Rp 58,5 digunakan untuk pelaksanaan dan biaya bayaran panitia selama dua hari perlombaan.

Sayangnya, menurut Decki, baik hadiah maupun pelaksanaan yang dilakukan tidak sesuai dengan anggaran. Bahkan, panitia masih membawa sponsor dan menarik karcis sebesar Rp 5.000 dari warga Sumenep yang hendak menonton salah satu budaya masayarakat Madura tersebut.

"Dana yang diambil dari APBD 2009 murni demi melestarikan budaya, bukan ajang mencari keuntungan sendiri. Kalau pemkab sudah punya anggaran yang cukup, untuk apa membawa sponsor segala. Hal itu justru merusak citra pemkab yang ingin memeriahkan hari Jadi Sumenep ke 740," terangnya.

Di tempat yang sama, Kepala Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga (Disbudparpora) M. Nasir mengatakan, apa yang dilakukan pihaknya bersama panitia sesuai dengan aturan yang ada. Namun, terkait dengan aturan pertandingan, dia mengaku tidak tahu - menahu.

"Semua sudah sesuai RAB (rencana anggaran biaya) yang ada. Kami melibatkan sponsor untuk melengkapi saja. Tapi bukan berarti anggaran kurang. Dengan, harapan kegiatan bisa lebih meriah," terangnya. (c14/mat/sfl)

Keluhkan Pesta Kerapan Sapi, Tuding Hadiah dan Aturan Balapan Tak Sesuai

SUMENEP - Pelaksanaan lomba karapan sapi tingkat kabupaten di Stadion Giling Sumenep kemarin (18/10) dikeluhkan pemilik sapi dan anggota DPRD Sumenep. Mereka melihat adanya kejanggalan mengenai biaya dan aturan pertandingan.

Zaini, salah satu pemilik sapi dari Kec Bluto, mengeluhkan pelayanan panitia kerapan. Baik hadiah maupun lomba, tidak sesuai dengan anggaran yang dimiliki oleh panitia, dalam hal ini disbudparpora.

"Setahu saya, jumlah anggaran mencapai Rp 95 juta lebih. Tapi hadiahnya hanya motor (buatan) Cina dan alat elektronik saja. Padahal, untuk golongan menang sudah jelas Rp 20 juta dan (pemenang) golongan kalah dianggarkan Rp 15 juta. Kok hadiahnya hanya itu," keluhnya saat ditemui di sela - sela pertandingan.

Selain hadiah yang dianggap terlalu kecil, Zaeni mencurigai aturan perlombaan yang hanya menguntungkan beberapa pihak. Dalihnya, aturan pada tahun itu berbeda dengan aturan - aturan sebelumnya.

"Selain ada pemangkasan kawedanan dan konsumsi yang minim, jarak lomba juga diubah. Dari dulu, itu biasanya 195 meter. Tapi karena ada panitia yang jadi peserta dan sapinya tidak sanggup, jaraknya diubah jadi 190 meter," tuturnya.

Zaeni juga mengaku sudah menanyakan hal tersebut kepada panitia. Namun, menurut dia, panitia berdalih hal itu dilakukan demi keamanan. "Itu tidak mungkin Mas. Sebab, selama tujuh tahun terakhir jarak yang digunakan selalu 195 meter dan tidak apa - apa," paparnya.

Sementara itu, anggota DPRD Sumenep, Decki Purwanto, membenarkan jika anggaran yang dialokasikan untuk lomba karapan sapi mencapai Rp 95 juta. Rinciannya, Rp 35 juta untuk hadiah (baik golongan menang maupun golongan kalah) dan Rp 1,5 juta untuk pembelian tropi. Sementara sisanya yang Rp 58,5 digunakan untuk pelaksanaan dan biaya bayaran panitia selama dua hari perlombaan.

Sayangnya, menurut Decki, baik hadiah maupun pelaksanaan yang dilakukan tidak sesuai dengan anggaran. Bahkan, panitia masih membawa sponsor dan menarik karcis sebesar Rp 5.000 dari warga Sumenep yang hendak menonton salah satu budaya masayarakat Madura tersebut.

"Dana yang diambil dari APBD 2009 murni demi melestarikan budaya, bukan ajang mencari keuntungan sendiri. Kalau pemkab sudah punya anggaran yang cukup, untuk apa membawa sponsor segala. Hal itu justru merusak citra pemkab yang ingin memeriahkan hari Jadi Sumenep ke 740," terangnya.

Di tempat yang sama, Kepala Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga (Disbudparpora) M. Nasir mengatakan, apa yang dilakukan pihaknya bersama panitia sesuai dengan aturan yang ada. Namun, terkait dengan aturan pertandingan, dia mengaku tidak tahu - menahu.

"Semua sudah sesuai RAB (rencana anggaran biaya) yang ada. Kami melibatkan sponsor untuk melengkapi saja. Tapi bukan berarti anggaran kurang. Dengan, harapan kegiatan bisa lebih meriah," terangnya. (c14/mat/sfl)

Sabtu, 17 Oktober 2009

Pungutan KTP di Sumenep Merajalela

Dispenduk Berdalih Kesepakatan Desa SUMENEP-Pungutan liar (pungli) dalam pembuatan kartu tanda penduduk (KTP) di beberapa desa di Sumenep merajalela. Tarikan pembayaran antara Rp 25 ribu sampai Rp 75 ribu. Padahal, di perda disebutkan hanya Rp 9.500 untuk pembuatan KTP dan KK (kartu keluarga).Ironisnya, Dinas kependudukan dan catatan sipil (dispenduk dan capil) berdalih itu tingginya pungutan untuk pembuatan KTP di desa merupakan kesepakatan desa.Zahri, 25, warga Dusun Paraddaan, Desa Lanjuk, Kec Manding, mengaku sudah empat bulan belum menerima kabar hasil permohonan KTP dan KK yang diajukannya. Dia cerita, sekitar tiga bulan sejak pengajuan, dia sudah menerima KTP-nya. Hanya, nama yang tertera dalam KTP bertuliskan Zehri. "Waktu itu (awal pembuatan KTP, Red) saya membayar Rp 25 ribu," akunya.Kemudian dilakukan perubahan atas kesalahan nama tersebut. Hanya, pria yang berstatus mahasiswa itu dikenakan biaya tambahan Rp 17.500 dengan tenggang waktu yang dijanjikan selama satu bulan. "Tapi, sampai sekarang sudah sebulan lebih belum ada kabar KTP saya. Padahal, saya sangat membutuhkan," ujarnya.Berdasarkan penelusuran koran ini, sedikitnya 10 warga RT 04 RW 04 Dusun Paraddaan, Desa Lanjuk, belum mendapatkan KTP. Diperkirakan, lama pengajuan pembuatan KTP tersebut sudah mencapai enam bulan.Tirmidi, salah satu tokoh Desa Lanjuk, mengatakan, belum adanya sinyal baik dalam pelayanan pembuatan KTP, hanya membuat warga gerah. Dia mendesak pemerintah serius dalam menangani dan menertibkan pembuatan KTP."Jangan cuma sigap saat mengambil uangnya saja. Tapi pemerintah harus konsisten dengan waktu pembuatan KTP, seperti harga yang ditawarkan sebelumnya. Membeli saja sulit, apalagi mau minta," katanya.Hal yang sama disampaikan Homaidi, tokoh di Kampung Pajegungan, Desa Panagan, Kecamatan Gapura. Menurut dia, dengan sulitnya proses pembuatan KTP banyak warga yang enggan membuatnya. "Sulitnya pembuatan KTP sudah menjadi rahasia umum. Anehnya, dinas sampai tingkat desa seakan berpangku tangan," ujarnya.Seperti diberitakan, dana kompensasi pembuatan KTP di Gapura yang harus dibayar warga bermacam-macam. Rinciannya, jangka waktu tiga bulan harganya Rp 10 ribu, jika satu bulan Rp 20 ribu. Lalu, untuk yang selesai dalam jangka waktu seminggu Rp 50 ribu dan Rp 75 ribu untuk satu hari.Suroyo, anggota DPRD Sumenep, mengatakan, pungutan pembuatan KTP di berbagai tingkatan hanya menjerat warga yang kurang mampu. Karena itu, dia mendesak dispenduk capil untuk mengambil langkah antisipatif. "Dari atas hingga bawah jangan cuma bisa main-main," ingatnya.Sementara Kepala Dispenduk Capil Suud Suganda membantah adanya pungutan liar dalam proses pembuatan KTP. "Seperti dalam ketentuan perda, pemohon hanya dibebankan biaya tidak lebih Rp 9.500. Yaitu untuk KK Rp 3.500 dan KTP Rp 6.000," sergahya.Hanya, Suud tidak menepis jika faktanya pembuatan KTP melebihi angka nominal yang ditentukan. Alasannya, desa juga diperkenankan untuk menentukan nilai kontribusi pembuatan KTP untuk kas desa atas dasar kesepakatan bersama tokoh masyarakat. "Jadi, itu (proses pembuatan KTP, Red) kami serahkan ke UPT (unit pelayanan teknis) dan dari UPT ke desa," katanya. (uji/mat/jp.com/rs)